Kisah Sumpah Umar Tidak Makan Daging atau Samin, Kulitnya Berubah Hitam

#image_title

PANJI ISLAM Kisah Sumpah Umar Tidak Makan Daging atau Samin, Kulitnya Berubah Hitam

loading…

Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan. Ilustrasi: Ist

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Kala itu, musim paceklik dan kelaparan yang melanda Jazirah Arab , termasuk Madinah , tengah mencapai puncaknya.

Bacaan Lainnya

Umar memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya.

Oleh Umar ia ditanya: “Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?”

“Ya,” jawab orang itu. Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang.”

Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir.

Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu. Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya:

“Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham.”

“Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan. Saya tidak suka makan dengan berlebihan,” ujar Umar. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: “Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan.”

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Al-Faruq Umar” yang diterjemahkan Ali Audah menjadi “Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengatakan alangkah agung dan mulianya kebijakan itu!

Lebih agung lagi, ujar Haekal, jika datangnya dari orang yang ketika itu segala harta milik Kisra dan Kaisar sudah ada di tangannya, dan yang dengan itu pula Muslimin dapat menyaingi Persia, Romawi dan dunia seluruhnya.

Begitu juga harta kekayaan Irak dan Syam. Ketika itu Umar mampu menggunakan sekehendaknya segala kemewahan dan kenikmatan harta Persia dan Romawi itu. Tetapi ia melihat semua kenikmatan itu menyangkut kehidupan dunia, dan kemewahan dapat membuat orang sesat.

“Dia lebih agung dari semua itu demi mengharapkan akhirat dan keridaan Allah,” ujar Haekal.

Ia melihat – sebagai Amirulmukminin – bahwa tidak mungkin ia dapat memperhatikan kehidupan rakyatnya jika dia sendiri tidak merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang hidup lebih miskin dan lebih sengsara.

Dia harus bertindak cepat untuk mengatasi kemiskinan dan kesengsaraan yang melanda negerinya.

Umar yang warna kulitnya putih kemerahan, pada masa paceklik atau Tahun Abu itu orang melihatnya sudah berubah menjadi hitam. Dulu ia menyantap samin, susu dan daging. Setelah bencana kekeringan menimpa wilayahnya, ia mengharamkan semua makanan itu untuk dirinya.

Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan, sehingga banyak orang yang mengatakan setelah melihat apa yang menimpanya itu: Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin.

Haekal mengatakan dalam kenyataannya Umar memang sangat prihatin, dan demi kepentingan mereka ia sudah berusaha sekuat tenaga.

Sumber Berita: kalam.sindonews.com

PANJI ISLAM
Portal Berita Islam Portal Berita Islam Terpercaya

 
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto? Silakan SMS ke 0813 7824 7999 via EMAIL: admin@panjiislam.com (mohon dilampirkan data diri Anda)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *